Saturday, 9 May 2015

Dispepsia

Salah satu penyakit yang dikenal masyarakat, dan cukup banyak dikeluhkan adalah dispespsia atau lebih dikenal dengan penyakit maag pada masyarakat luas. Udah sering dong ngalamin gejalanya. Gejala yang sering muncul biasanya berupa ketidaknyamanan pada daerah perut, berupa kembuh atau sebah. Bisa juga gejala lain seperti mual dan muntah. 

Definisi

Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn, regurgitasi.
Menurut sebuah penelitian, prevalensi dispepsia bervariasi antara 3 % sampai 40 %. Variasi dalam angka prevalensi ini berkaitan dengan perbedaan dalam defenisi dispepsia pada penelitian tersebut.

Etiologi

Dalam lumen saluran cerna :
- Tukak peptik 
- Gastritis 
- Keganasan Gastroparesis 
Obat-obatan :
- Anti inflamasi non steroid AINs 
- Teofilin 
- Digitalis 
- Antibiotik 
Hepato-bilier :
- Hepatitis 
- Kolesistisis 
- Kolelitiasis 
- Keganasan 
- Disfungsi sphincter Odli 
Pankreas :
- Pankreatitis 
- Keganasan
Keadaan sistemik :
- Diabetes melitus 
- Penyakit tiroid 
- Gagal ginjal 
- Kehamilan 
- Penyakit jantung sistemik 
Gangguan fungsional :
- Dispepsia fungsional 
- Sindrom kolon iritatif

Patofisiologi

  1. Faktor Genetik
    Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin anti inflamasi dapat menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus. Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal
  2. Faktor Psikososial
    Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang labil memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui mekanisme-neuroendokrin. Satu studi menyatakan bahwa pada stres atau kecemasan dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.
  3. Pengaruh Flora Bakteri
    Infeksi Helicobacter pylori  mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin.
  4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan
    Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti pada tahun 2000 menunjukkan keterlambatan esensial dari pengosongan lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas gerakan gastrointestinal

Klasifikasi

Menurut Calcaneus (2010), klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan. Dengan demikian, dispepsia dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia) dengan gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati, dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) dengan gejala yang dominan adalah kembung, mual, cepat kenyang, dan dispepsia nonspesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam satu kategori diatas.

Gejala Klinis

Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau keluhan: 
a. Postprandial Distress Syndrome
  • Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi makanan porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu. 
  • Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan makanan dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama seminggu. 
b. Epigastric Pain Syndrome
  • Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan tingkat keparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu. 
  • Nyeri interimiten.
  • Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus.
  • Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu. 
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). 

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian.
  1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).
  2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
  3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
  4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

Penatalaksanaan

  1. Antasid 20-150 ml/hariGolongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terusmenerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
  2. AntikolinergikPerlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
  3. Antagonis reseptor H2Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonisrespetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
  4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
  5. SitoprotektifProstoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
  6. Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
  7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat antidepresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.

No comments:

Post a Comment

TInggalin komen yaa... :))